SIMBOL BUDAYA SEBAGAI MAGNET DUKUNGAN KEPADA PASLON PILPRES 2024.
Pemilu kian dekat, situasi perang wacana semakin gencar baik di media massa maupun di media sosial. Pemberitaan kegiatan kampanye, konten-konten para pemengaruh juga berseliweran di FYP media sosial kita.
Inilah seninya pesta demokrasi yang hanya bisa kita saksikan 5 tahun sekali. Menarik, bisa juga menegangkan, kadang lucu karena banyak juga cara kreatif yang dilakukan para simpatisan paslon yang bahkan juga bisa menghibur melalui konten-konten media sosialnya. Masing-masing paslon memiliki cara masing-masing untuk mendekati dan memikat konstituennya. Namun yang menarik adalah pendekatan yang melibatkan strategi pemanfaatan simbol budaya sebagai alat penarik dukungan paslon. Penulis melihat dan berhasil menginventarisir simbol budaya yang digunakan selama para paslon berkampanye di antaranya bahasa, artifak kultural khas Etnis di Indonesia (peci/kopiah, topi atau tutup kepala etnis tertentu, baju adat, selendang, juga gesture. Tentu hal ini sangat memungkinkan mengingat Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat kaya ragam budayanya dengan 31 suku juga 6 Agama yang diakui (Indonesia.go.id). Keragaman budaya ini sangat potensial untuk dimanfaatakan dalam momen pilpres saat ini terutama dalam upaya menumbuhkan engangement di antara paslon dan para konstituennya. Mengapa simbol budaya dapat menumbuhkan engagement di antara paslon dan konstituennya? Alasannya dapat kita kaji melalui makna budaya secara konseptual; Pertama, bagaimana budaya sebagai konsep yang dipahami sebagai suatu cara hidup yang dimiliki bersama, dinamis, dilestarikan serta diteruskan dari generasi ke generasi. Definisi lain menyebut budaya adalah pikiran, akal budi, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sukar diubah serta keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI).
Simbol budaya sebagai sesuatu yang dimiliki bersama, berarti simbol budaya dimiliki secara kolektif oleh kelompok budaya tertentu dan bukan sesuatu yang bersifat eksklusif. Dari sini jelas dengan menggunakan simbol budaya tertentu selain mengesankan terpaut dengan simbol budaya tertentu yang dikenakan juga memberikan makna khusus. Misalnya penggunaan peci atau kopiah sebagai simbol agama Islam juga dapat sekaligus mengesankan penggunanya sebagai seorang yang agamis. Selain itu peci hitam juga menyimbolkan identitas negarawan yang nasionalis. Sejalan dengan pernyataan Megawati tentang Kopiah atau peci hitam ini kita tahu sebagai simbol identitas yang menggambarkan sosok Presiden Soekarno yakni “Kita melihat budaya orang Indonesia itu berkopiah dan Bung Karno mengatakan itu identitas dari nasionalisme kita yang disebut nasionalis religious” (Kompas 21/4/2023). Kedua, simbol budaya dari perspektif komunikasi seolah dapat memunculkan kerangka rujukan (frame of reference) dan bidang pengalaman (field of reference) di antara Komunikator dan Komunikan untuk mengefektifkan proses komunikasi diantara keduanya. Frame of Reference a set of ideas or facts accepted by a person that explains their behavior, opinions or decisions (dictionary.canbridge.org). Juga prinsip komunikasi ke 8 yang diutarakan oleh Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A, Phd yakni Semakin mirip latar belakang sosial-budaya semakin efektiflah komunikasi (2015:107). Simbol budaya seolah dapat memenuhi ini meski juga dalam prakteknya harus juga ditopang oleh skill lain misalnya skill retorika. Ketiga, simbol budaya secara psikologis mereduksi jarak sehingga dapat berimplikasi memperpendek jarak di antara komunikator dan komunikannya. Dalam artian yang seharusnya ada dalam jarak sosial seolah menjadi jarak personal bahkan intim. Reduksi jarak dengan penggunaan simbol budaya memunculkan kedekatan khusus karena rasa memiliki hal yang sama tadi seperti yang disebut dalam konsep budaya di awal. Misalnya menggunakan kain ulos maka seperti sama-sama orang Batak meski kenyataannya bukan berasal dari etnis Batak. Ulasan singkat tadi memberikan refleksi pada kita sebagai khalayak bahwa hampir semua yang berkaitan dengan komunikasi paslon jelas dikontruksikan untuk memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya demi kemenangan. Dengan begitu sebagai bagian dari khalayak media sudah semestinya kita membaca semua pesan di masa kampanye ini dengan cermat dan kritis dalam memaknai pesan-pesan politik yang ada agar tidak salah memahami dan lebih jauh lagi tentunya jangan sampai salah memilih.
Dini Wahdiyati, S.Sos, M.I.Kom
Posting Komentar untuk "SIMBOL BUDAYA SEBAGAI MAGNET DUKUNGAN KEPADA PASLON PILPRES 2024."