Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Batu Penggilingan


        Batu penggilingan merupakan alat pengolah tebu yang diperkirakan digunakan pada abad ke-17 hingga 18 Masehi. Dalam tulisan Haan (1935: 323-324), terdapat istilah suikermolen, yang berarti pabrik pembuatan gula. Pada abad ke-18, istilah pabrik pembuatan gula ini merujuk pada pabrik gula dengan peralatan tradisional sederhana yang menggunakan batu untuk menggiling tebu.

Pada masa itu, gula menjadi salah satu komoditas penting untuk perdagangan di dunia. Batavia--sebelum disebut Jakarta--adalah salah satu daerah penghasil gula, di mana hasilnya diekspor ke China dan Jepang. Produksi gula di Batavia dilakukan oleh orang-orang China yang bermukim di wilayah Pecinan.

Menyadari produksi gula memberikan keuntungan, VOC akhirnya membuat ketetapan bahwa gula di Batavia wajib dijual kepada VOC, tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain. Bahkan VOC yang menentukan harga gula.

Tahun 1710 adalah puncak kejayaan produksi gula di Batavia, di mana terdapat 130 pabrik pembuat gula yang dimiliki oleh orang China, dengan sebagian besar berada di sekitar Sungai Ciliwung. Namun, setelahnya, produksi gula mengalami penurunan yang ditandai dengan berkurangnya pabrik gula. Pada 1738, terdapat 80 pabrik gula. Kemudian, di tahun 1750, terdapat 66 pabrik gula. Lalu, pada 1786, hanya terdapat 44 pabrik gula.

Batu penggilingan biasa disebut warga setempat sebagai batu kiser. Setelah menurunnya produksi tebu di Batavia dan keluarnya orang-orang China dari Batavia pada 1740, mereka mulai mendirikan bentengan-bentengan dengan pagar tinggi yang selanjutnya disebut China Benteng. Salah satunya, mulai membuat pabrik penggilingan tebu untuk dijadikan gula pasir di wilayah Cakung.


Posting Komentar untuk " Sejarah Batu Penggilingan"